Ringkasan Eksekutif
Bagian ini menyajikan ringkasan eksekutif dari laporan mengenai situasi Tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Ini mencakup gambaran umum tentang beban penyakit, upaya pemerintah, tantangan utama yang dihadapi, dan rekomendasi strategis untuk percepatan eliminasi TBC.
Penyakit Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah besar di Indonesia. Negara kita adalah salah satu yang paling banyak kasus TBC-nya di dunia, bahkan nomor dua setelah India. Diperkirakan ada sekitar 1,09 juta kasus TBC pada tahun 2024, dan yang lebih menyedihkan, sekitar 125.000 orang meninggal setiap tahun karena TBC, itu berarti sekitar 14 orang meninggal setiap jam. Wabah COVID-19 kemarin juga memperburuk keadaan, membuat upaya pengendalian TBC mundur 5-8 tahun dan angka kematian melonjak.
Pemerintah Indonesia sudah sangat serius menangani ini, dengan adanya Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 dan Strategi Nasional Penanggulangan TBC yang baru. Tujuannya adalah menghilangkan TBC sepenuhnya pada tahun 2030. Strategi ini meliputi pencegahan, promosi kesehatan, serta mempercepat penemuan dan pengobatan kasus, termasuk menggunakan alat deteksi cepat (TCM) dan obat TBC yang resistan (TBC RO) dengan durasi yang lebih singkat.
Namun, banyak tantangan yang harus dihadapi. TBC RO (TBC yang kebal obat) adalah masalah serius karena sulit diobati dan banyak pasien yang tidak patuh minum obat. Sulitnya akses ke layanan kesehatan (karena lokasi, biaya yang mahal, atau stigma masyarakat) juga menjadi penghalang utama. Alat diagnosis canggih masih terbatas di daerah terpencil, dan dana yang kurang, baik dari dalam maupun luar negeri, memperlambat kemajuan. Selain itu, banyak masyarakat yang belum sepenuhnya sadar akan bahaya TBC.
Untuk mempercepat eliminasi TBC, kita perlu lebih banyak dana dan menggunakannya dengan lebih efektif. Penting juga untuk menemukan lebih banyak kasus TBC aktif dengan memperluas akses diagnosis, memperkuat penanganan TBC RO, dan melihat TBC dari berbagai sisi, termasuk masalah sosialnya. Kampanye edukasi besar-besaran untuk menghilangkan stigma dan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, sangat penting. Memanfaatkan teknologi dan digitalisasi dalam sistem kesehatan juga harus terus dioptimalkan. Dengan mengatasi semua tantangan ini secara menyeluruh, Indonesia bisa mencapai target ambisius untuk menghilangkan TBC pada tahun 2030.
Pendahuluan
Bagian pendahuluan ini menjelaskan mengapa TBC menjadi isu kesehatan yang krusial baik secara global maupun nasional, serta menguraikan tujuan dari laporan ini. Pemahaman akan latar belakang dan signifikansi TBC penting untuk mengapresiasi urgensi upaya penanggulangannya.
Mengapa TBC Penting untuk Kita Ketahui?
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masih menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC adalah penyebab kematian ke-13 secara global dan penyakit menular paling mematikan kedua setelah COVID-19. Ini menunjukkan bahwa TBC masih sangat berbahaya, meskipun sudah puluhan tahun diupayakan untuk dikendalikan.
Indonesia punya masalah TBC yang sangat besar. Kita selalu masuk dalam tiga besar negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. Bahkan pada tahun 2023, Indonesia menyumbang sekitar 10% dari seluruh kasus TBC di dunia, menempati posisi kedua setelah India. Ini artinya, peran Indonesia sangat penting dalam upaya global untuk menghilangkan TBC.
Data terbaru di Indonesia menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Diperkirakan ada 1.060.000 kasus TBC pada tahun 2022, dan jumlah ini diperkirakan naik menjadi 1.090.000 kasus pada tahun 2024. Angka kasus baru (insidensi) TBC di Indonesia juga meningkat, dari 354 per 100.000 penduduk pada tahun 2021 menjadi 388 per 100.000 pada tahun 2024. Angka-angka ini menunjukkan bahwa TBC menyebar luas di seluruh Indonesia.
Angka kematian akibat TBC di Indonesia juga sangat tinggi. Pada tahun 2021, ada 150.000 kematian akibat TBC, naik 60% dari tahun 2020. Ini berarti 55 kematian per 100.000 penduduk. Meskipun secara global angka kematian TBC sedikit menurun, Indonesia masih menyumbang sekitar 125.000 kematian setiap tahun pada tahun 2024, atau sekitar 49 kematian per 100.000 penduduk. Ini setara dengan sekitar 14 kematian akibat TBC setiap jam di Indonesia. Angka ini menunjukkan betapa mendesaknya tindakan yang efektif.
Peningkatan tajam angka kematian TBC di Indonesia dari tahun 2020 ke 2021 (naik 60%) menunjukkan dampak serius dari pandemi COVID-19. Layanan diagnosis dan pengobatan TBC terganggu selama pandemi, menyebabkan banyak kasus TBC menjadi lebih parah dan angka kematian meningkat. Gangguan ini diperkirakan membuat upaya pengendalian TBC mundur 5-8 tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan kita rentan terhadap krisis yang terjadi bersamaan. Oleh karena itu, penting untuk memiliki layanan kesehatan yang kuat dan terintegrasi yang bisa terus berjalan bahkan dalam keadaan darurat. Strategi ke depan harus menggabungkan kesiapsiagaan dan respons pandemi tanpa mengorbankan program pengendalian penyakit yang sedang berjalan.
Tujuan Laporan Ini
- Menjelaskan secara lengkap situasi TBC di Indonesia, termasuk data terbaru tentang jumlah kasus, kasus baru, dan angka kematian.
- Melihat kebijakan dan program pemerintah yang ada untuk mengendalikan TBC, serta menilai seberapa efektif program tersebut.
- Mengidentifikasi dan menjelaskan tantangan utama yang menghambat upaya menghilangkan TBC di Indonesia, seperti TBC kebal obat, kesulitan akses, dan masalah dana.
- Menjelaskan peran penting berbagai pihak—pemerintah, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat—serta pentingnya kerja sama dari semua sektor.
- Memberikan saran-saran strategis dan berdasarkan bukti untuk mempercepat penghapusan TBC di Indonesia, dengan memanfaatkan inovasi dan memperkuat sistem kesehatan.
Gambaran Situasi TBC di Indonesia
Bagian ini menyajikan data dan analisis mendalam mengenai situasi epidemiologi TBC di Indonesia. Ini mencakup tren kasus, perbandingan global, kelompok berisiko, dan perbedaan regional. Visualisasi data digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap angka-angka kunci.
2.1. Jumlah Kasus, Kasus Baru, dan Kematian Akibat TBC
Indonesia punya peran yang sangat penting dalam masalah TBC global karena menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC, setelah India. Ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi dengan TBC di Indonesia sangat berpengaruh pada upaya pengendalian TBC di seluruh dunia.
Tren Kasus TBC di Indonesia (2022-2024)
Grafik menunjukkan estimasi total kasus, kasus yang ditemukan, dan kasus yang berhasil diobati dari tahun 2022 hingga 2024.
Insidensi TBC per 100.000 Penduduk
Grafik menampilkan angka kasus baru TBC per 100.000 penduduk pada tahun 2021, 2023, dan 2024.
Mortalitas TBC per 100.000 Penduduk
Grafik menunjukkan angka kematian akibat TBC per 100.000 penduduk pada tahun 2021 dan 2024.
Jumlah Kematian Akibat TBC di Indonesia
Grafik menampilkan jumlah kematian akibat TBC pada tahun 2020, 2021, dan perkiraan 2024.
Penemuan Kasus: Upaya menemukan kasus TBC di Indonesia sudah menunjukkan peningkatan, meskipun masih ada banyak kasus yang belum ditemukan. Pada tahun 2020, hanya 393.323 kasus yang ditemukan. Namun, penemuan kasus terus membaik. Untuk tahun 2024, Kementerian Kesehatan mendeteksi lebih dari 889.000 kasus TBC (81% dari perkiraan). Fakta bahwa sekitar 19% dari perkiraan kasus TBC di Indonesia pada tahun 2024 masih belum terdeteksi menunjukkan bahwa banyak orang dengan TBC masih belum terdiagnosis dan tidak diobati.
Kematian (Mortalitas): Angka kematian akibat TBC di Indonesia sangat bervariasi. Pada tahun 2021, ada 150.000 kematian, naik 60% dari tahun 2020, kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan layanan selama pandemi COVID-19. Untuk Indonesia, angka kematian pada tahun 2024 diperkirakan 49 per 100.000 penduduk, dengan sekitar 125.000 kematian setiap tahun.
2.2. Posisi Indonesia dalam Masalah TBC Global
TBC secara global diakui sebagai penyebab kematian ke-13 dan penyakit menular paling mematikan kedua setelah COVID-19. Pada tahun 2023, lima negara teratas—India (26%), Indonesia (10%), Tiongkok (6,8%), Filipina (6,8%), dan Pakistan (6,3%)—bersama-sama menyumbang 56% dari total kasus TBC global. Peringkat tinggi Indonesia secara konsisten menunjukkan peran penting negara kita dalam upaya pengendalian TBC global.
Kontribusi Negara Teratas pada Beban TBC Global (2023)
Diagram menunjukkan persentase kontribusi lima negara teratas terhadap total kasus TBC global pada tahun 2023.
2.3. Kelompok yang Berisiko Tinggi dan Cara Penularan
TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebar melalui udara. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena TBC antara lain:
- Kurang gizi: Melemahkan sistem imun.
- Infeksi HIV: Orang dengan HIV 18x lebih mungkin terkena TBC aktif.
- Kecanduan alkohol: Meningkatkan risiko 3,3x lipat.
- Merokok: Meningkatkan risiko 1,6x lipat.
- Diabetes: Melemahkan sistem imun.
Faktor lingkungan seperti kepadatan penduduk tinggi dan sanitasi buruk juga meningkatkan risiko. TBC adalah masalah sosial-ekonomi, lebih banyak menyerang orang di perumahan kumuh, ventilasi buruk, dan gizi kurang. Pendapatan rendah dan pendidikan rendah terkait erat dengan kasus TBC dan kegagalan pengobatan.
2.4. Perbedaan Kasus TBC di Berbagai Daerah
Kasus TBC di Indonesia tidak tersebar merata. Provinsi di Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan menyumbang kasus terbanyak. Penelitian menunjukkan pola TBC cenderung mengelompok, dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan faktor sosial-ekonomi lokal seperti kualitas perumahan dan pendapatan. Ini berarti strategi nasional perlu disesuaikan dengan kondisi lokal untuk efektivitas maksimal.
Kebijakan dan Program Nasional Penanggulangan TBC
Bagian ini menguraikan berbagai kebijakan dan program yang telah diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menanggulangi TBC. Ini mencakup kerangka regulasi, strategi pencegahan dan promosi kesehatan, metode penemuan dan penanganan kasus, serta target nasional yang ingin dicapai.
3.1. Aturan dan Strategi Pemerintah
Pengendalian TBC di Indonesia adalah tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat, Daerah, dan masyarakat. Aturan utama adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016 dan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021. Target nasional adalah menghilangkan TBC pada tahun 2030 dan Indonesia bebas TBC pada tahun 2050. Perpres 67/2021 menekankan penguatan komitmen pemerintah, peningkatan akses layanan berkualitas, optimalisasi promosi dan pencegahan, serta integrasi inovasi dan teknologi.
3.2. Cara Mencegah dan Promosi Kesehatan
Kegiatan pengendalian TBC meliputi promosi kesehatan, pengawasan, pengendalian faktor risiko (PHBS, etika batuk, perbaikan rumah, daya tahan tubuh), penemuan kasus, imunisasi BCG untuk bayi, dan Pengobatan Pencegahan TBC (TPT) untuk kelompok berisiko. Kampanye seperti "Gerakan Indonesia Akhiri TBC" penting untuk meningkatkan kesadaran. Arah kebijakan bergeser dari kuratif ke promotif dan preventif.
3.3. Cara Menemukan dan Menangani Kasus TBC
Deteksi dini dan pengobatan kasus aktif penting. Penemuan kasus dilakukan secara aktif (skrining) dan pasif (diagnosis di faskes). Diagnosis menggunakan penilaian klinis dan konfirmasi bakteri (mikroskopi, Tes Cepat Molekuler/TCM, kultur). TCM adalah alat diagnosis utama. Pengobatan TBC Resistan Obat (TBC RO) dipersingkat menjadi 6 bulan (BPaL/M). Hingga awal Maret 2025, Kemenkes mendeteksi 889.133 kasus TBC (99% dari target 2024).
3.4. Target Nasional untuk Menghilangkan TBC
Indonesia menargetkan eliminasi TBC pada 2030 dan bebas TBC pada 2050. RKP 2024 menargetkan insidensi 297 per 100.000 penduduk. Namun, target global Strategi Akhiri TBC WHO tidak tercapai, dan pengurangan insidensi global (8,3% antara 2015-2023) jauh dari target 50% pada 2025. Ini menunjukkan laju kemajuan saat ini belum cukup dan perlu percepatan upaya radikal.
Tantangan dalam Penanggulangan TBC di Indonesia
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan dalam menanggulangi TBC. Bagian ini membahas berbagai kendala tersebut, mulai dari masalah TBC Resistan Obat, kesulitan akses layanan, keterbatasan diagnosis, hingga isu pendanaan dan kesadaran masyarakat.
4.1. TBC Kebal Obat (TBC RO): Diagnosis, Penanganan, dan Pencegahan
TBC RO adalah krisis kesehatan serius. Akses pengobatan terbatas (global, hanya 44% kasus TBC RO didiagnosis dan diobati pada 2023). Penyebab utama: pengobatan tidak adekuat, ketidakpatuhan pasien, dan penularan dari pasien TBC RO. TBC XDR lebih parah. TPT untuk TBC RO masih dikembangkan. Keberhasilan pengobatan TBC RO global hanya 68% (dibanding 88% untuk TBC sensitif obat). TBC RO terkait erat dengan Resistansi Antimikroba (AMR) dan menghambat eliminasi TBC.
4.2. Sulitnya Akses Layanan Kesehatan: Lokasi, Biaya, dan Stigma Sosial
Lokasi: Jarak jauh ke faskes, terutama di daerah terpencil.
Biaya: Hampir separuh rumah tangga terdampak TBC menanggung "biaya katastropik" (>20% pendapatan tahunan untuk perawatan TBC), meliputi biaya medis, non-medis, dan kehilangan pendapatan. Pasien terpaksa menjual aset atau berhutang. Kemiskinan meningkatkan risiko gagal pengobatan.
Stigma Sosial: Penghalang utama, menyebabkan keengganan periksa diri karena takut dikucilkan. Kebijakan yang salah arah bisa memperburuk stigma.
4.3. Keterbatasan Diagnosis dan Laboratorium
Deteksi dini belum optimal, banyak kasus "hilang". Alat canggih (GeneXpert/TCM) terpusat di kota besar. Diagnosis di banyak daerah masih pakai mikroskop manual (kurang akurat). Pandemi COVID-19 memperburuk, TCM dialihkan untuk COVID. Ketersediaan lab kultur TBC di daerah terpencil terbatas.
4.4. Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan
Ketidakpatuhan pasien adalah faktor risiko utama TBC RO. Sering terkait kurangnya edukasi, dukungan tidak memadai, atau sulit akses pengobatan. Meskipun 90% kasus terdeteksi diobati pada 2024, kepatuhan dan kesembuhan 6 bulan masih jauh dari harapan, menunjukkan banyak yang tidak menyelesaikan pengobatan.
4.5. Masalah Dana dan Penggunaannya
Dana global untuk TBC menurun dan jauh dari target (2023, hanya 26% target global terpenuhi). Alokasi anggaran TBC di Indonesia tidak memadai. Efisiensi penggunaan anggaran TBC Indonesia menurun (hanya 1% pada 2022), menunjukkan kurang dana dan potensi inefisiensi.
4.6. Kurangnya Kesadaran Masyarakat
Kurangnya kesadaran tentang gejala, penularan, pencegahan, dan pengobatan TBC menyebabkan penundaan cari bantuan. Gejala umum seperti batuk lama sering diabaikan. Kurangnya edukasi memperkuat stigma. Ini adalah masalah mendasar yang memicu tantangan lain.
Peran Berbagai Pihak dan Kerja Sama
Penanggulangan TBC memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Bagian ini menjelaskan peran penting pemerintah (pusat dan daerah), organisasi internasional dan donatur, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas dalam perjuangan melawan TBC di Indonesia.
5.1. Peran Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Pemerintah Pusat dan Daerah bertanggung jawab utama (Perpres 67/2021), meliputi penyediaan teknologi (diagnosis, obat, surveilans), alokasi anggaran memadai, penguatan faskes (Puskesmas, RS), peningkatan kualitas SDM kesehatan, pengembangan sistem informasi, serta pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.
5.2. Peran Organisasi Internasional dan Donatur
Organisasi internasional dan donatur mendukung melalui finansial, teknis, dan advokasi. Contoh: WHO (panduan global), Global Fund (investasi >US$1 miliar sejak 2004), USAID (kemitraan dengan Kemenkes & Muhammadiyah), Bill & Melinda Gates Foundation. Dukungan ini penting, namun kesenjangan dana global tetap besar.
5.3. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Komunitas
LSM dan komunitas krusial dalam keterlibatan komunitas, edukasi, penemuan kasus, dan pendampingan pasien. Mereka menjembatani layanan pemerintah dan masyarakat. Kader TBC berperan sebagai garda terdepan. Peran mereka diperkuat oleh Perpres 67/2021 dan Strategi Nasional.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Bagian terakhir ini merangkum poin-poin kunci dari analisis situasi TBC di Indonesia dan menyajikan serangkaian rekomendasi strategis yang ditujukan untuk mempercepat upaya eliminasi TBC, sejalan dengan target nasional dan global.
6.1. Kesimpulan
Indonesia menghadapi masalah TBC serius, peringkat tinggi global. Pandemi COVID-19 berdampak signifikan. TBC RO ancaman kritis. Faktor sosial-ekonomi dan stigma jadi penyebab dan hambatan. Kekurangan dana membatasi tindakan. Kemajuan menuju target eliminasi belum cukup, perlu percepatan radikal.
6.2. Rekomendasi
- Peningkatan Dana dan Penggunaan Anggaran yang Efisien: Tingkatkan dana domestik & internasional. Tingkatkan efisiensi & transparansi penggunaan anggaran.
- Percepatan Penemuan Kasus Aktif dan Perluasan Akses Diagnosis: Strategi penemuan kasus aktif agresif. Perluas akses TCM/GeneXpert merata.
- Penguatan Penanganan TBC RO dan Pencegahan Resistansi Obat (AMR): Tingkatkan program TBC RO (diagnosis cepat, regimen singkat, dukungan pasien). Gabungkan pengendalian TBC RO dalam strategi AMR.
- Pendekatan Menyeluruh Terhadap Masalah Sosial: Tindakan multisektor atasi kemiskinan, kualitas rumah, gizi, pendidikan. Kembangkan skema perlindungan sosial.
- Kampanye Edukasi Publik dan Penghapusan Stigma: Kampanye kesadaran berkelanjutan & peka budaya. Lawan stigma aktif.
- Penguatan Kerja Sama Antar Sektor dan Berbasis Komunitas: Dorong kemitraan kuat. Berdayakan Kader TBC & pemimpin lokal.
- Pemanfaatan Inovasi dan Digitalisasi: Manfaatkan solusi kesehatan digital (pemantauan, pelaporan, rantai pasok). Investasi riset vaksin & diagnosis baru.